Refleksi Sukardal dan Beberapa Catatan Pembangunan Transportasi Kota Solo




Sukardal mati karena suaranya tiada yang peduli. Ia mati mengenaskan. Bunuh diri dan meninggalkan coret-coretan di tembok. Aspirasinya didapat terlambat. Sukardal ditemukan oleh masyarakat saat meregang nyawa. Cerita legendaris ini ditulis apik oleh Goenawan Mohammad di Catatan Pinggir Majalah Tempo. Sukardal yang seorang tukang becak ini ditulis Goenawan mati lantaran terlampau kecewa becaknya disita oleh Polisi Pamong Praja.

Kematian Sukardal menyimpan segepok misteri. Coret-coretan di temboknya juga menyimpan banyak pertanyaan yang belum terpecahkan. Benarkah coret-coretan itu hanyalah sebuah suratan akhir dari riwayat hidupnya? Ataukah di balik itu semua ada pepesan ihwal pekerjaannya yang dirampas oleh modernitas? Semua itu tersimpan hingga kini. Risalah Sukardal bukanlah satu kejadian tunggal. Ia ada dan memunculkan dirinya yang baru di jalanan.

Cerita Sukardal dan jalanan tidaklah berhenti pada catatan pinggir Goenawan Mohammad. The Death Of Sukardal ibarat ditulis Goenawan Mohammad untuk pengingat bagi pembaca. Karena kita tahu, ghalib kejadian-kejadian seperti Sukardal ini berulang. Becak tersingkir, dilahap zaman yang semakin maju. Atau pembangunan trasnportasi yang menambah korban. Demi kemajuan seakan-akan harus ada pengorbanan. Dalam istilah Karl Kautsky disebut sebagai tumbal kemajuan.

Pada hari Sabtu, 12 Januari 2019 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surakarta mengadakan diskusi publik bertajuk ”The Death Of Sukardal dan Transportasi Kota Solo Hari Ini”. Esai The Death Sukardal diangkat untuk mengulang memori pembangunan transportasi di masa itu. Sukardal dianggap simbol pergeseran tersebut. Meski tidak seluruh kota di Indonesia mengalami tragedi ibarat Sukardal, esai ini dirasa dapat mewakili kegelisahan masyarakat kota Solo melihat pembangunan sarana transportasi di kotanya.

Diskusi Sabtu malam itu digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Kota Solo. Diskusi dipantik oleh Cahyadi Kurniawan, anggota AJI kota Solo, serta Sukma Larastiti, selaku pengamat transportasi, dan peneliti di Transportologi. Mulanya Cahyadi membeberkan pembacaannya mengenai Sukardal. Ia menggarisbawahi kematian Sukardal yang meninggalkan banyak coretan di dinding. Baginya itu bisa berarti ekspresi simbolik Sukardal yang becaknya dirampas. ”Bisa jadi Sukardal ini mati karena kegelisahannya tidak tersampaikan. Ada banyak aspirasinya yang tersumpat. Dan saat ia tahu becaknya dirampas ia hanya bisa menyampaikannya lewat coret-coret di tembok,” ungkap Cahyadi

Salah satu peserta, Afita yang berasa dari Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan mengatakan bahwa ia jadi teringat akan cerita pendek Eka Kurniawan yang berjudul Corat-Coret di Toilet. Katanya, salah satu kutipan di cerita pendek itu meirip dengan kejadian Sukardal”Aku tidak percaya dengan wakil rakyat, aku lebih percaya pada dinding-dinding toilet, kurang lebih seperti itu dan sepertinya mirip dengan pesan cerita pendek Eka Kurniawan itu,” ujarnya.

Sesaat peran partisipasi masyarakat dalam pembangunan transportasi disorot oleh peserta diskusi. Cahyadi juga menggarisbawahi peranan masyarakat yang harus terlibat aktif dalam pembangunan. Dito selaku moderator diskusi turut menimpali bahwa keterlibatan masyarakat bisa pula berbentuk kritik.”Warga menurut saya jika ada yang salah dari pembangunan harus bisa menuntut dan mengkritik. Jangan sampai inferior menghadapi otoritas kota, karena bagaimanapun pembangunan itu kan buat masyarakat,” timpalnya.

Diskusi pun berlanjut dengan pemaparan dari Sukma Larastiti atau biasa dipanggil Lara. Ketika moderator mempersilahkan Lara untuk membeberkan pandangannya, ia mengeluarkan beberapa lembar catatan. Ia pun lanjut memberikan pendapat dan sikapnya mengenai pembangunan transportasi di Solo. Di beberapa poin Lara menekankan permasalahan pada pembangunan fly over Manahan yang kemarin sempat dipermasalahkan dan menurut beberapa sumber sejak perencanaan sudah dipermasalahkan.

Lara juga menekankan kepada peserta diskusi agar mau berkorban dan ikut berperan dalam memajukan transportasi publik di Solo. Meskipun ada beberapa catatan dan keluhan, tidak seharusnya transportasi publik seperti Batik Solo Trans ini ditinggalkan. Kalau perlu memang mulai ikut berjalan kaki. Lara juga memperingatkan pembungan gas emisi yang semakin naik,”Kalau terus-terusan seperti itu mungkin kitalah Sukardal-Sukardal berikutnya,” ujarnya

Konten diskusi mulai meninggalkan Sukardal dalam pembahasan. Beberapa kali memang sempat disinggung, tapi pembahasan seperti bentuk partisipasi masyarakat yang tepat, corak pembangunan transportasi, dan persinggungan dengan pengguna jalan lebih sering dikupas. Di sela-sela pembahasan itu, Lara juga sempat mengungkapkan bahwa jalanan Kota Solo ini bentuknya sempat dibangun mirip kota-kota bergaya Eropa, jalan kecil dan banyak trototar. ”Lalu sekarang ini kita bisa liat jalanan kota Solo sudah mulai bergaya Amerika. Jalan-jalannya besar dan trotoarnya kecil-kecil,”

Titis Efrindu rekan Lara dari Transportologi ikut meramaikan diskusi. Di forum ia menghimbau kepada peserta diskusi untuk mulai memperhitungkan ruang gerak masing-masing. Titis juga mengungkapkan kendaraan pribadi seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Dan ia juga menyarankan agar masyarakat mulai peduli pada fasilitas transportasi umum. Bagi Titis masyarakat juga perlu melirik kembali opsi berjalan kaki. Menurutnya menyelamatkan ruang gerak pengguna jalan, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri.

Selama pembangunan fly over Manahan, memang harus diakui kemacetan sempat melanda kota Solo. Purwosari dan Pasar Nongko adalah alternatif lalu lintas ketika sepanjang jalan Manahan dipugar demi pembangunan fly over. Alhasil volume kendaraan di titik itu meningkat. Kemacetan terjadi ketika jam pulang kerja ataupun jam pulang sekolah. Kemacetan itu ditambah dengan penggunaan kendaraan pribadi yang meningkat.

Maka dari itu tak heran jika Titis mengeluhkan rendahnya kesadaran diri perihal penggunaan kendaraan pribadi.”Psikologis kita lama-lama kan ikut terganggu kalau mengalami kemacetan seperti ini terus. Frustasi pasti ada,” Ungkapnya.

Di sisi lain, menurut Titis, pembangunan citywalk juga belum maksimal. Citywalk masih terpusat di jalan protokol seperti Jalan Slamet Riyadi. Di jalan yang menjadi arus menuju Slamet Riyadi, fasilitas pejalan kaki juga masih sempit. Ini pula yang mungkin menyebabkan masyarakat belum mau berjalan kaki. ”Ada rasa malas yang datang ketika kita melihat fasilitas pejalan kaki ini belum maksimal,” tuturnya.

Diskusi berlanjut dan kembali ke pembahasan Sukardal. Reza, peserta diskusi yang berasal dari Lembaga Pers Mahasiswa Islamika UMS mengutarakan pendapatnya. Reza mengaku berasal dari Bekasi. Di tempatnya, lalu lintas sudah rumit. Jika mau diurai permsalahannya pun lagi-lagi berbicara birokrasi. Ia juga mengatakan bahwa Sukardal bukan korban rezim. Baginya Sukardal adalah pihak yang gagal beradaptasi. 

Lara pun menimpali pernyataan Reza dengan mengatakan kalau Sukardal adalah simbol kerumitan-kerumitan pembangunan. Pada momen-momen tertentu, Sukardal-Sukardal baru akan muncul karena korban kebijakan yang kurang memihak. ”Saya seringkali bertemu dengan supir angkot dan mendengar keluhan dan permasalahannya. Karena saya bekerja di bidang advokasi transportasi,”
Lara pun menambahkan, pembangunan transportasi di kota Solo jangan sampai jatuh seperti di Kota Jakarta. Menurutnya pembangunan apapun sekarang tidak bisa berkiblat ke Jakarta. Pembangunan di Kota Solo harus dikawal. Kebijakan struktural berpengaruh besar akan nasib pengguna jalan. Kepedulian atas jalanan perlu ditegaskan kembali,”Realistis perlu tapi juga harus diimbangi dengan optimis” Selanya.

Di akhir diskusi, moderator menyampaikan, Sukardal tetaplah korban kebijakan struktural. Karena haknya dirampas bukan untuk mobilitas vertikal. Hak Sukardal dirampas saat ia hanya melakukan mobilitas horizontal. Birokrasi dan segala macam kebijakannya akan memakan korban apabila tidak memperhatikan aspek penting kebutuhan masyarakat. Kebutuhan pembangunan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Saat pembangunan transportasi hanya berbicara mengenai angka tanpa manusia, di situlah mungkin Sukardal-Sukardal baru akan muncul.



Penulis : Taufik Nandito
Editor : Afita Mulyafi
 


Previous
Next Post »

Share this

Berita Terkait