Mengintip Isi Buku "Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan"

“Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan”


 Kritik dari Rusdi Mathari Menelusuri tulisan-tulisan panjang Rusdi Mathari di media sosial, blog pribadinya, dan bukunya tentang jurnalisme, akan menghasilkan banyak renungan. Para jurnalis atau wartawan yang menjadi awak media mapan tentu merasakan banyak sentilan karena perilaku kita kadang tak jauh dari cerita Rusdi.

Rusdi memiliki slogan Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan – yang belakangan menjadi judul buku yang diterbitkan oleh Mojok di awal 2018 ini. Sekilas slogan ini terdengar biasa saja, karena toh yang melakukan aktivitas jurnalistik memang bukan hanya wartawan atau awak media arus utama. Istilah jurnalisme warga juga telah lama dikenal luas, bahkan sebelum era media digital menguasai dunia.

Lalu, sesederhana itukah maksud Rusdi? Mungkin tidak. Jika kita menelusuri tulisan-tulisan di blognya, rusdimathari.com, kita akan menemukan runtutan analisis dan kritiknya terhadap industri media— termasuk perilaku wartawan, bahkan para akademisi. Menariknya, Rusdi juga membagikan pengalamannya melakukan liputan mendalam dan investigatif yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja, termasuk mereka yang tidak bekerja di bawah payung industri media besar.

Kritik Rusdi disampaikan dengan bercerita. Seperti cerita tentang Janet Leslie Cook, reporter The Washington Post yang menerima Pulitzer 1981, namun akhirnya harus mengembalikan penghargaan prestisius itu tak lama kemudian. Dalam tulisan berjudul Wartawan dan Kebohongan itu, Rusdi mengisahkan Janet yang menulis kisah fiktif berjudul Dunia Jimmy yang terbit di halaman utama koran ternama itu pada 1980. Isinya tentang anak kulit hitam berusia 8 tahun yang kecanduan heroin karena diperkenalkan oleh pacar ibunya.

Kisah yang menghebohkan itu memantik simpati, bahkan penyelidikan oleh pemerintah kota Washington DC. Belakangan Janet akhirnya mengakui bahwa dirinya mengarang cerita itu karena redakturnya selalu memintanya menghasilkan “sesuatu”. Kisah serupa juga pernah terjadi di Indonesia melalui dua berita berdasarkan “wawancara” dengan Noraini, istri Dr Azhari – tersangka teroris asal Malaysia.

Ada pula kritik yang sangat relevan dengan media digital saat ini, yaitu minimnya verifikasi sumber yang sempat membuat media-media nasional terjebak memberitakan hal yang tidak faktual. Kasus berita tentang PM Singapura Lee Hsien Loong yang memutuskan tidak berteman lagi dengan Presiden SBY pada Februari 2014, atau kabar ulama melarang perempuan makan pisang karena khawatir membuat mereka terangsang pada Desember 2011, dicontohkan Rusdi dalam artikel Hoax, Para Monyet dan Wartawan pada 12 Februari 2014.

Kedua berita tersebut terbukti tak bisa dipertanggungjawabkan karena dibuat berdasarkan sumber yang tidak jelas dan situs gosip. Ada pula masalah lain dalam berbagai pemberitaan media digital, seperti dugaan manipulasi dateline dengan memundurkan waktu tayang agar bisa dianggap sebagai media tercepat dalam memberitakan sebuah kasus.

Sentilan kerasnya kepada media dia sampaikan di antaranya lewat tulisan berjudul Jus. Tulisan itu mengupas sedikit kehidupan Jus Soema Dipraja, mantan wartawan Indonesia Raya yang kemudian bergabung ke Kompas sejak 1974. Rusdi menceritakan Jus akhirnya keluar dari Kompas lantaran koran terkemuka itu meminta maaf kepada pemerintah agar bisa terbit kembali setelah dibredel Komkamtib pada 21 Januari 1978.

Bagi Jus, cerita Rusdi, meminta maaf kepada pemerintah saat itu atas kesalahan yang tidak diperbuat adalah pelanggaran etik. Gara-gara itu, kata Rusdi, pemimpin Kompas Jakob Oetama merasa bersalah kepada Jus dan menawarinya untuk kembali, bahkan menawarinya untuk membiayai sekolah anaknya. Namun Jus menolaknya. Bahkan dia rela pernah bekerja sebagai koordinator pemungut sampah untuk membiayai keluarganya.

“Dia memilih untuk membunuh kariernya ketimbang harus menjadi wartawan yang mengiba-iba, menjilat dan menyanjung penguasa,” tulis Rusdi.

Namun Rusdi tak hanya mengkritik, tapi juga memberikan contoh yang semestinya dilakukan oleh para jurnalis dan awak media. Dia mengapresiasi ketelitian The Jakarta Post saat menuliskan berita tentang berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. Waktu itu hampir semua media menuliskan judul Soeharto Mengundurkan Diri dan semacamnya. Namun The Jakarta Post memilih menggunakan judul I Quit (Saya Berhenti) karena Soeharto dalam pidatonya memang tak pernah menyatakan dirinya mengundurkan diri.

Sekian banyak tulisannya itu juga mengarahkan pada penjelasan latar belakang slogannya “Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan”. Dia menyadari, cita-cita jurnalisme memang tak bisa sepenuhnya disalurkan melalui media-media massa besar yang kerap terbentur kepentingan bisnis dan politik. Itu pula yang mendorongnya untuk berkenalan dengan media sosial dan blog untuk menerbitkan tulisan-tulisannya secara bebas namun bisa dipertanggungjawabkan.

“Nawaitunya, blog gratisan yang saya buat, akan saya jadikan sebagai jawaban terhadap pemberitaan dari media arus besar, yang menurut saya sudah telanjur banyak berkompromi untuk tidak mengatakan sudah banyak yang tidak jujur,” kata Rusdi dalam tulisan berjudul Politikana, akan ke Mana? yang kali pertama terbit di rusdimathari.com 27 Juli 2009 dan kembali diterbitkan di buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan.

Rasanya, ini kritik bagi media massa kontemporer di tengah tsunami hoax, minimnya verifikasi, kemalasan mencari konfirmasi, dan kepentingan lain yang muncul di balik meja redaksi.











Previous
Next Post »

Share this

Berita Terkait