Arketipe Rahman Tolleng : Manusia Politik Avant Garde


Foto : DW.COM
Ia senior bagi Soe Hok Gie, Arif Budiman, dan Goenawan Mohammad. Sosok ini juga salah satu mahasiswa aktivis 66 yang populis pada masanya. Jika membicarakan sejarah pers mahasiswa dari periode itu, seharusnya nama ini tak lepas dari pembicaraan. Sosok itu bernama Rahman Tolleng, salah satu pendiri MIngguan Mahasiswa Indonesia. Mingguan ini merupakan salah satu media yang kritis di era Demokrasi Terpimpin, dan pernah mencetak oplah hingga puluhan ribu di masa jayanya.

Enam hari yang lalu, Rahman Tolleng wafat. Ia meninggalkan segudang cerita perjalanan intelektual yang penuh paradoks dan juga inspirasi. Jika dihitung-hitung, Rahman Tolleng sudah aktif berpolitik sejak Soekarno berkuasa sampai dengan masa pasca-reformasi. Di era Soekarno ia adalah oposan yang lantang. Di era Orde Baru ia berusaha masuk ke lingkaran pemerintahan. Sayang di masa itu ia pun ikut terjungkal karena rupanya insting oposannya tak bisa dipadamkan oleh cara-cara hipokrit.

Nama Rahman Tolleng bakal kita dapatkan dengan garis terang saat kita membaca buku Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia karya Francois Railllon. Dalam buku itu disebutkan dengan jelas bagaimana peranan Rahman Tolleng dalam menumbangkan Orde Lama di dalam redaksi Mahasiswa Indonesia. Dijelaskan pula bagaimana saat Rahman Tolleng memegang haluan redaksi Mahasiswa Indonesia ia memberi corak tersendiri pada konten kritis koran tersebut.

Ketika Soekarno tumbang dan Soeharto naik memulai kekuasaannya, Rahman Tolleng masih sempat aktif di dapur redaksi Mahasiswa Indonesia. Tapi di sisi lain, ia juga bergabung ke parlemen. Uniknya ia juga membantu pendirian koran propaganda yang dijadikan alat agitasi massa bagi kalangan birokrat Orde Baru, yakni Suara Karya. Koran ini adalah buah ide dari Rahman Tolleng. Dan di masa-masa awal terbit, Rahman Tolleng adalah Pemimpin Redaksinya.

Namun sepertinya memang Rahman Tolleng tak bisa lama-lama duduk di pemerintahan. Buktinya saat peristiwa Malari meletus ia dipenjara oleh rezim. Ia dibui dan dituduh makar oleh tangan-tangan rezim Orde Baru. Koran Mahasiswa Indonesia yang digalangnya dulu juga dituduh tidak partisipatif dengan pemerintahan. Nasib pun berkehendak Mahasiswa Indonesia harus berhenti terbit. Kini koran perintis pers mahasiswa modern di Indonesia itu tinggal nama dalam cerita saja.

Sepenggal cerita perjalanan Rahman Tolleng ini memang penuh kontradiksi. Pertama terjun di ranah aktivisme ia bergabung dengan Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), sebuah gerakan mahasiswa yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia bentukan Sutan Sjahrir. Sayang sejak meletusnya pemberontakan PRRI, PSI bersama Masyumi dilarang berkecimpung lagi di kontestasi politik Indonesia. Berikut pula gerakan-gerakan mahasiswanya yang turut terancam keberadaannya.

Dengan situasi politik seperti itu, Rahman Tolleng terpaksa berdiri di luar pemerintah. Ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan koran Mingguan Mahasiswa Indonesia yang seperti sengaja diperuntukkan mengkritik atau bahkan menggoyang singgasana Soekarno dan kroni-kroninya. Tak lama akhirnya wibawa Soekarno itu pudar seiring meletusnya peristiwa G30S. Rahman Tolleng pun antusias dengan pendirian Orde Baru. Ia ikut terlibat dengan banyak forum-forum intelektual Orde Baru. Suara Karya adalah salah satu buah idenya untuk Orde Baru.

Namun berjalannya Orde Baru memberi realitas yang tak sejalan dengan ekspektasi Rahman Tolleng. Koran Mahasiswa Indonesia yang masih terafiliasi dengannya terus mengkritik berjalannya Orde baru. Hingga akhirnya Malari membuyarkan karir politik Rahman Tolleng. Ia dipenjara dan dicap oposisi yang berbahaya. Kemudian semenjak keluarnya ia dari penjara, ia bangkit dan memutuskan untuk terus belaku sebagaimana oposisi berperan, yaitu bersikap kritis terhadap pemerintahan.

Dalam wawancaranya bersama situs DW.com ia mengatakan bahwa politik adalah passionnya. Tolleng juga menandaskan ia tak kecewa meskipun telah kalah pada awal Orde Baru terbentuk. Ia tetap bergeliat dan terus beroposisi. Seolah posisi oposan adalah garis nasibnya. Di tahun 90-an ia membentuk Forum Demokrasi bersama Gus Dur sebagai bentuk reaksi atas terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di dekade sebelumnya ia turut menandatangani Petisi 50 bersama sebarisan punggawa-punggawa politik masa lalu.

Dari situ sudah tak terhitung pelbagai upaya Rahman Tolleng memberi warna pada iklim politik di Indonesia. Usaha-usahanya adalah wujud sumbangsihnya pada lanskap politik di Indonesia. Ia tak pernah menyerah pada situasi. Karena itu ia terus berpolitik. Goenawan Mohammad dalam esainya yang berjudul ”Mikropolitik” mengatakan bahwa Rahman Tolleng, ”Bukan rencana mengubah semesta berdasarkan wajah sendiri,” oleh karenanya beliau terus mendapat tempat dalam politik. Wajahnya terus mencuat, walaupun bukan dirinya yang meminta.

Masih dalam Esai Mikropolitik, Goenawan Mohammad menuliskan, ”Ia militansi dari aksi yang terbatas. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil,” Rahman Tolleng tak pernah berhenti berharap pada politik, seburuk apapun kondisinya. Ia percaya, politik demi demokrasi, seperti yang diungkapkan Amartya Sen, jalan untuk mengentaskan kemiskinan. Jalan politik adalah lorong yang terkadang gelap, namun harapan daripada itu adalah sebuah enlightment, sebuah pencerahan. Maka dari itu, bisa dikatakan Rahman Tolleng adalah wujud manusia politik Indonesia yang kontekstual.

Rahman Tolleng di masa lalu adalah cermin dari intelektualitas awal mahasiswa pasca revolusi kemerdekaan. Dosis politik nan tinggi yang diberikannya pada konten Mahasiswa Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana sebaiknya mahasiswa terlibat dalam agenda politik. Ia tak berhenti di pers mahasiswa saja. Di keberlanjutan karirnya ia mengarungi jalan yang hiruk namun dengan pengecualian dari sikapnya yang dingin dan acuh oleh publikasi. Rahman Tolleng menambah daya intelektualitasnya beriringan dengan jalan politiknya yang masih panjang. Ia berhasil menjadi agent of change, sebuah slogan yang begitu dielu-elukan mahasiswa masa kini.

Bagi saya, sikap dan cara Rahman Tolleng berpolitik adalah sebuah cermin pembelajaran bagi mahasiswa masa kini. Mahasiswa, mungkin tidak harus terlibat langsung dalam politik praktis, namun kepekaan atas iklim politik memungkinkan mahasiswa lebih sensitif dan sadar akan nasib masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan Rahman Tolleng, ia tak mau menjadi menara gading intelektual. Mungkin baginya wawasan yang didapatkannya, harus bermanfaat bagi masyarakat. Dan sesederhana itulah bagaimana mahasiswa dapat memberi makna berpolitik di tengah lingkungannya, bukan demi nafsu kekuasaan belaka.



Penulis : Taufik Nandito
Editor : Raditya Heru Budi


Latest
Previous
Next Post »

Share this

Berita Terkait