Ide untuk belajar jurnalistik adalah alasan jamak bagi tiap individu yang
nyemplung di komunitas pers mahasiswa. Menulis, mungkin jadi salah satu alasan
yang mudah digeneralisir untuk kepentingan-kepentingan di luar jurnalistik.
Namun, dalih ”Belajar” kerapkali menghantui progresivitas persma. Sebenarnya,
jika Persma bisa menjadi progresif kenapa harus diredusir ”Baru belajar”.
Terkadang di satu sisi, kita perlu menghargai yang namanya proses belajar.
Itu sangat jelas diperlukan dalam dinamika organisasi, agar seturut yang
dimakhtubkan Abraham Maslow, aktualisasi diri seseorang dalam hirarki kebutuhan
manusia bisa meluruh dalam roda organisasi pers mahasiswa.
Sayang, seribu sayang, kita sering terjebak dalam kata belajar. Pegangan
kata ini ibarat mendomestifikasikan pers mahasiswa dalam komunitas akademiknya
saja. Akuilah, pastinya tak sedikit persma yang ditagih prestasi atau trofi
oleh pihak kampus. Kampus sepertinya menganggap awak persma sebagai sekumpulan
pembelajar yang mestinya baca buku melulu, menulis melulu, dan mesti mendapat
nilai A melulu.
Bagaimana kata ”belajar” dikonstruksi secara sosial oleh kampus, sedikit
demi sedikit memang menggerus glorifikasi pers mahasiswa pasca reformasi. Akan
tetapi pers mahasiswa sebenarnya tak memerlukan glorifikasi yang berlebihan
agar terus eksis dan kritis. Jurnalis-jurnalis kampus ini hanya perlu terus
belajar supaya kritisisme tetap diperlihara secara turun temurun, itu pun
dengan catatan, kata belajar itu tak terasosiasikan dengan kepentingan kampus
dan melepaskan diri dari citraan-citraan yang membelenggu.
Jujur saja, kata ”Belajar” dari kampus terus membayang-bayangi pikiran
penulis sampai dengan tulisan ini dibuat. Kata itu keluar saat pihak salah satu
kampus ternama di Solo, yang melalui pihak kemahasiswaannya memrotes salah satu
konten yang diterbitkan persma di kampus tersebut. Persepsi saya menangkap,
kata belajar dan tagihan trofi dari kampus adalah upaya kampus agar pers
mahasiswa terus hidup dengan citraan-citraan belajar.
Akui saja lagi, mestinya banyak pula yang datang ke persma untuk belajar
menulis sastra belaka, atau menulis opini belaka, tanpa kemudian mengingat
berita sebagai prioritas utama. Sebenarnya itu sah-sah saja bagi pers
mahasiswa. Apalagi mencoba berbagai jenis tulisan, tentu akan mempermudah
penyampaian gagasan individual. Namun, kampus kurang lebihnya memang mengharapkan
hal-hal seperti itu berlaku.
Citra belajar ala kampus itu memang sengaja disorongkan ke pers mahasiswa.
Dampak negatifnya, bibit-bibit jurnalis ini masuk berduyun-duyun ke sekretariat
pers mahasiswa dengan dalih belajar ala ”Kampus”. Sebanding dengan citraan
simbolis ala Jean Baudillard, masuk di pers mahasiswa bagi calon-calon kader
ini seumpama dengan belajar saja. Citraan-citraan ini menggantikan arti pers
mahasiswa bagi mereka.
Rentetan imbas-imbas citraan ini belum berhenti sampai di situ. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi, etos kerja menjadi turun. Seiring dengan tuntutan 4 tahun
belajar, organisasi bukan lagi dinomorduakan, tapi sudah dilalaikan. Dengan
hanya menjadi anggota saja, bagi produk citraan belajar dari kampus ini, sudah
cukup membanggakan. Orang membeli celana Levis karena lebih terlihat keren
daripada nyaman dipakai, sama seperti itu, menjadi anggota pers mahasiswa sudah
lumayan beken di antara temannya daripada harus bersusah payah menulis banyak
berita dan tulisan.
Kalau ada proker yang dilaksanakan, awak pers mahasiswa melakukannya dengan
standar belajar ala kampus. Walaupun para jurnalis ini menulis ala kadarnya,
dan lantas disemprot oleh pemimpin redaksinya, si jurnalis kampus ini sudah
cukup merasa nyaman, yang terpenting bagi dirinya mungkin adalah hanya tetap
bertahan, menjadi anggota, dan menikmati nama besar lembaga terkait. Nama besar
lembaga ini dalam istilah Jacques Lacan, adalah sebuah media regitrasi
simbolis.
Mungkin, ini terlihat sebagai paranoia saja, tapi jika kita terus mengamini
dan membiarkan kuasa bahasa dari kampus ini menjalar, lama-lama awak pers
mahasiswa hanya menjadi objek citraan kampus. Tatkala awak pers mahasiswa
berakhir buruk sebagai objek citraan, jatuh-jatuhnya mereka terjebak pada pseudo-aktifitas. Seperti contoh begini
: awak pers mahasiswa sekedar masuk dalam poster promosi saja sudah senang,
atau mengadakan diskusi yang berkonten garing sudah bangga. Yang penting
program kerja usai, deadline terlampaui. Begitulah cara pseudo-aktifitas bekerja.
Sejatinya, pers mahasiswa, selama kampus masih hidup, pasti pers mahasiswa
akan turut hidup. Yang mungkin akan mati adalah akal sehat dan kritisisme bagi
awak pers mahasiswa. Pers mahasiswa sekali lagi perlu menjaga akal sehat dan kritisisme atau bahkan
determinasi, agar menjadi bukti bagi kampus bahwa belajar bisa dari mana saja
kebenaran itu datang. Dan bukan hanya dari tumpukan diktat-diktat saja.
Muhammad Taufik Nandito
Mahasiswa Psikologi UMS Surakarta