SIARAN PERS

TITIK SOLO

OPINI

Recent Posts

Arketipe Rahman Tolleng : Manusia Politik Avant Garde


Foto : DW.COM
Ia senior bagi Soe Hok Gie, Arif Budiman, dan Goenawan Mohammad. Sosok ini juga salah satu mahasiswa aktivis 66 yang populis pada masanya. Jika membicarakan sejarah pers mahasiswa dari periode itu, seharusnya nama ini tak lepas dari pembicaraan. Sosok itu bernama Rahman Tolleng, salah satu pendiri MIngguan Mahasiswa Indonesia. Mingguan ini merupakan salah satu media yang kritis di era Demokrasi Terpimpin, dan pernah mencetak oplah hingga puluhan ribu di masa jayanya.

Enam hari yang lalu, Rahman Tolleng wafat. Ia meninggalkan segudang cerita perjalanan intelektual yang penuh paradoks dan juga inspirasi. Jika dihitung-hitung, Rahman Tolleng sudah aktif berpolitik sejak Soekarno berkuasa sampai dengan masa pasca-reformasi. Di era Soekarno ia adalah oposan yang lantang. Di era Orde Baru ia berusaha masuk ke lingkaran pemerintahan. Sayang di masa itu ia pun ikut terjungkal karena rupanya insting oposannya tak bisa dipadamkan oleh cara-cara hipokrit.

Nama Rahman Tolleng bakal kita dapatkan dengan garis terang saat kita membaca buku Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia karya Francois Railllon. Dalam buku itu disebutkan dengan jelas bagaimana peranan Rahman Tolleng dalam menumbangkan Orde Lama di dalam redaksi Mahasiswa Indonesia. Dijelaskan pula bagaimana saat Rahman Tolleng memegang haluan redaksi Mahasiswa Indonesia ia memberi corak tersendiri pada konten kritis koran tersebut.

Ketika Soekarno tumbang dan Soeharto naik memulai kekuasaannya, Rahman Tolleng masih sempat aktif di dapur redaksi Mahasiswa Indonesia. Tapi di sisi lain, ia juga bergabung ke parlemen. Uniknya ia juga membantu pendirian koran propaganda yang dijadikan alat agitasi massa bagi kalangan birokrat Orde Baru, yakni Suara Karya. Koran ini adalah buah ide dari Rahman Tolleng. Dan di masa-masa awal terbit, Rahman Tolleng adalah Pemimpin Redaksinya.

Namun sepertinya memang Rahman Tolleng tak bisa lama-lama duduk di pemerintahan. Buktinya saat peristiwa Malari meletus ia dipenjara oleh rezim. Ia dibui dan dituduh makar oleh tangan-tangan rezim Orde Baru. Koran Mahasiswa Indonesia yang digalangnya dulu juga dituduh tidak partisipatif dengan pemerintahan. Nasib pun berkehendak Mahasiswa Indonesia harus berhenti terbit. Kini koran perintis pers mahasiswa modern di Indonesia itu tinggal nama dalam cerita saja.

Sepenggal cerita perjalanan Rahman Tolleng ini memang penuh kontradiksi. Pertama terjun di ranah aktivisme ia bergabung dengan Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), sebuah gerakan mahasiswa yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia bentukan Sutan Sjahrir. Sayang sejak meletusnya pemberontakan PRRI, PSI bersama Masyumi dilarang berkecimpung lagi di kontestasi politik Indonesia. Berikut pula gerakan-gerakan mahasiswanya yang turut terancam keberadaannya.

Dengan situasi politik seperti itu, Rahman Tolleng terpaksa berdiri di luar pemerintah. Ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan koran Mingguan Mahasiswa Indonesia yang seperti sengaja diperuntukkan mengkritik atau bahkan menggoyang singgasana Soekarno dan kroni-kroninya. Tak lama akhirnya wibawa Soekarno itu pudar seiring meletusnya peristiwa G30S. Rahman Tolleng pun antusias dengan pendirian Orde Baru. Ia ikut terlibat dengan banyak forum-forum intelektual Orde Baru. Suara Karya adalah salah satu buah idenya untuk Orde Baru.

Namun berjalannya Orde Baru memberi realitas yang tak sejalan dengan ekspektasi Rahman Tolleng. Koran Mahasiswa Indonesia yang masih terafiliasi dengannya terus mengkritik berjalannya Orde baru. Hingga akhirnya Malari membuyarkan karir politik Rahman Tolleng. Ia dipenjara dan dicap oposisi yang berbahaya. Kemudian semenjak keluarnya ia dari penjara, ia bangkit dan memutuskan untuk terus belaku sebagaimana oposisi berperan, yaitu bersikap kritis terhadap pemerintahan.

Dalam wawancaranya bersama situs DW.com ia mengatakan bahwa politik adalah passionnya. Tolleng juga menandaskan ia tak kecewa meskipun telah kalah pada awal Orde Baru terbentuk. Ia tetap bergeliat dan terus beroposisi. Seolah posisi oposan adalah garis nasibnya. Di tahun 90-an ia membentuk Forum Demokrasi bersama Gus Dur sebagai bentuk reaksi atas terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di dekade sebelumnya ia turut menandatangani Petisi 50 bersama sebarisan punggawa-punggawa politik masa lalu.

Dari situ sudah tak terhitung pelbagai upaya Rahman Tolleng memberi warna pada iklim politik di Indonesia. Usaha-usahanya adalah wujud sumbangsihnya pada lanskap politik di Indonesia. Ia tak pernah menyerah pada situasi. Karena itu ia terus berpolitik. Goenawan Mohammad dalam esainya yang berjudul ”Mikropolitik” mengatakan bahwa Rahman Tolleng, ”Bukan rencana mengubah semesta berdasarkan wajah sendiri,” oleh karenanya beliau terus mendapat tempat dalam politik. Wajahnya terus mencuat, walaupun bukan dirinya yang meminta.

Masih dalam Esai Mikropolitik, Goenawan Mohammad menuliskan, ”Ia militansi dari aksi yang terbatas. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil,” Rahman Tolleng tak pernah berhenti berharap pada politik, seburuk apapun kondisinya. Ia percaya, politik demi demokrasi, seperti yang diungkapkan Amartya Sen, jalan untuk mengentaskan kemiskinan. Jalan politik adalah lorong yang terkadang gelap, namun harapan daripada itu adalah sebuah enlightment, sebuah pencerahan. Maka dari itu, bisa dikatakan Rahman Tolleng adalah wujud manusia politik Indonesia yang kontekstual.

Rahman Tolleng di masa lalu adalah cermin dari intelektualitas awal mahasiswa pasca revolusi kemerdekaan. Dosis politik nan tinggi yang diberikannya pada konten Mahasiswa Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana sebaiknya mahasiswa terlibat dalam agenda politik. Ia tak berhenti di pers mahasiswa saja. Di keberlanjutan karirnya ia mengarungi jalan yang hiruk namun dengan pengecualian dari sikapnya yang dingin dan acuh oleh publikasi. Rahman Tolleng menambah daya intelektualitasnya beriringan dengan jalan politiknya yang masih panjang. Ia berhasil menjadi agent of change, sebuah slogan yang begitu dielu-elukan mahasiswa masa kini.

Bagi saya, sikap dan cara Rahman Tolleng berpolitik adalah sebuah cermin pembelajaran bagi mahasiswa masa kini. Mahasiswa, mungkin tidak harus terlibat langsung dalam politik praktis, namun kepekaan atas iklim politik memungkinkan mahasiswa lebih sensitif dan sadar akan nasib masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan Rahman Tolleng, ia tak mau menjadi menara gading intelektual. Mungkin baginya wawasan yang didapatkannya, harus bermanfaat bagi masyarakat. Dan sesederhana itulah bagaimana mahasiswa dapat memberi makna berpolitik di tengah lingkungannya, bukan demi nafsu kekuasaan belaka.



Penulis : Taufik Nandito
Editor : Raditya Heru Budi


Refleksi Sukardal dan Beberapa Catatan Pembangunan Transportasi Kota Solo




Sukardal mati karena suaranya tiada yang peduli. Ia mati mengenaskan. Bunuh diri dan meninggalkan coret-coretan di tembok. Aspirasinya didapat terlambat. Sukardal ditemukan oleh masyarakat saat meregang nyawa. Cerita legendaris ini ditulis apik oleh Goenawan Mohammad di Catatan Pinggir Majalah Tempo. Sukardal yang seorang tukang becak ini ditulis Goenawan mati lantaran terlampau kecewa becaknya disita oleh Polisi Pamong Praja.

Kematian Sukardal menyimpan segepok misteri. Coret-coretan di temboknya juga menyimpan banyak pertanyaan yang belum terpecahkan. Benarkah coret-coretan itu hanyalah sebuah suratan akhir dari riwayat hidupnya? Ataukah di balik itu semua ada pepesan ihwal pekerjaannya yang dirampas oleh modernitas? Semua itu tersimpan hingga kini. Risalah Sukardal bukanlah satu kejadian tunggal. Ia ada dan memunculkan dirinya yang baru di jalanan.

Cerita Sukardal dan jalanan tidaklah berhenti pada catatan pinggir Goenawan Mohammad. The Death Of Sukardal ibarat ditulis Goenawan Mohammad untuk pengingat bagi pembaca. Karena kita tahu, ghalib kejadian-kejadian seperti Sukardal ini berulang. Becak tersingkir, dilahap zaman yang semakin maju. Atau pembangunan trasnportasi yang menambah korban. Demi kemajuan seakan-akan harus ada pengorbanan. Dalam istilah Karl Kautsky disebut sebagai tumbal kemajuan.

Pada hari Sabtu, 12 Januari 2019 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surakarta mengadakan diskusi publik bertajuk ”The Death Of Sukardal dan Transportasi Kota Solo Hari Ini”. Esai The Death Sukardal diangkat untuk mengulang memori pembangunan transportasi di masa itu. Sukardal dianggap simbol pergeseran tersebut. Meski tidak seluruh kota di Indonesia mengalami tragedi ibarat Sukardal, esai ini dirasa dapat mewakili kegelisahan masyarakat kota Solo melihat pembangunan sarana transportasi di kotanya.

Diskusi Sabtu malam itu digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Kota Solo. Diskusi dipantik oleh Cahyadi Kurniawan, anggota AJI kota Solo, serta Sukma Larastiti, selaku pengamat transportasi, dan peneliti di Transportologi. Mulanya Cahyadi membeberkan pembacaannya mengenai Sukardal. Ia menggarisbawahi kematian Sukardal yang meninggalkan banyak coretan di dinding. Baginya itu bisa berarti ekspresi simbolik Sukardal yang becaknya dirampas. ”Bisa jadi Sukardal ini mati karena kegelisahannya tidak tersampaikan. Ada banyak aspirasinya yang tersumpat. Dan saat ia tahu becaknya dirampas ia hanya bisa menyampaikannya lewat coret-coret di tembok,” ungkap Cahyadi

Salah satu peserta, Afita yang berasa dari Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan mengatakan bahwa ia jadi teringat akan cerita pendek Eka Kurniawan yang berjudul Corat-Coret di Toilet. Katanya, salah satu kutipan di cerita pendek itu meirip dengan kejadian Sukardal”Aku tidak percaya dengan wakil rakyat, aku lebih percaya pada dinding-dinding toilet, kurang lebih seperti itu dan sepertinya mirip dengan pesan cerita pendek Eka Kurniawan itu,” ujarnya.

Sesaat peran partisipasi masyarakat dalam pembangunan transportasi disorot oleh peserta diskusi. Cahyadi juga menggarisbawahi peranan masyarakat yang harus terlibat aktif dalam pembangunan. Dito selaku moderator diskusi turut menimpali bahwa keterlibatan masyarakat bisa pula berbentuk kritik.”Warga menurut saya jika ada yang salah dari pembangunan harus bisa menuntut dan mengkritik. Jangan sampai inferior menghadapi otoritas kota, karena bagaimanapun pembangunan itu kan buat masyarakat,” timpalnya.

Diskusi pun berlanjut dengan pemaparan dari Sukma Larastiti atau biasa dipanggil Lara. Ketika moderator mempersilahkan Lara untuk membeberkan pandangannya, ia mengeluarkan beberapa lembar catatan. Ia pun lanjut memberikan pendapat dan sikapnya mengenai pembangunan transportasi di Solo. Di beberapa poin Lara menekankan permasalahan pada pembangunan fly over Manahan yang kemarin sempat dipermasalahkan dan menurut beberapa sumber sejak perencanaan sudah dipermasalahkan.

Lara juga menekankan kepada peserta diskusi agar mau berkorban dan ikut berperan dalam memajukan transportasi publik di Solo. Meskipun ada beberapa catatan dan keluhan, tidak seharusnya transportasi publik seperti Batik Solo Trans ini ditinggalkan. Kalau perlu memang mulai ikut berjalan kaki. Lara juga memperingatkan pembungan gas emisi yang semakin naik,”Kalau terus-terusan seperti itu mungkin kitalah Sukardal-Sukardal berikutnya,” ujarnya

Konten diskusi mulai meninggalkan Sukardal dalam pembahasan. Beberapa kali memang sempat disinggung, tapi pembahasan seperti bentuk partisipasi masyarakat yang tepat, corak pembangunan transportasi, dan persinggungan dengan pengguna jalan lebih sering dikupas. Di sela-sela pembahasan itu, Lara juga sempat mengungkapkan bahwa jalanan Kota Solo ini bentuknya sempat dibangun mirip kota-kota bergaya Eropa, jalan kecil dan banyak trototar. ”Lalu sekarang ini kita bisa liat jalanan kota Solo sudah mulai bergaya Amerika. Jalan-jalannya besar dan trotoarnya kecil-kecil,”

Titis Efrindu rekan Lara dari Transportologi ikut meramaikan diskusi. Di forum ia menghimbau kepada peserta diskusi untuk mulai memperhitungkan ruang gerak masing-masing. Titis juga mengungkapkan kendaraan pribadi seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Dan ia juga menyarankan agar masyarakat mulai peduli pada fasilitas transportasi umum. Bagi Titis masyarakat juga perlu melirik kembali opsi berjalan kaki. Menurutnya menyelamatkan ruang gerak pengguna jalan, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri.

Selama pembangunan fly over Manahan, memang harus diakui kemacetan sempat melanda kota Solo. Purwosari dan Pasar Nongko adalah alternatif lalu lintas ketika sepanjang jalan Manahan dipugar demi pembangunan fly over. Alhasil volume kendaraan di titik itu meningkat. Kemacetan terjadi ketika jam pulang kerja ataupun jam pulang sekolah. Kemacetan itu ditambah dengan penggunaan kendaraan pribadi yang meningkat.

Maka dari itu tak heran jika Titis mengeluhkan rendahnya kesadaran diri perihal penggunaan kendaraan pribadi.”Psikologis kita lama-lama kan ikut terganggu kalau mengalami kemacetan seperti ini terus. Frustasi pasti ada,” Ungkapnya.

Di sisi lain, menurut Titis, pembangunan citywalk juga belum maksimal. Citywalk masih terpusat di jalan protokol seperti Jalan Slamet Riyadi. Di jalan yang menjadi arus menuju Slamet Riyadi, fasilitas pejalan kaki juga masih sempit. Ini pula yang mungkin menyebabkan masyarakat belum mau berjalan kaki. ”Ada rasa malas yang datang ketika kita melihat fasilitas pejalan kaki ini belum maksimal,” tuturnya.

Diskusi berlanjut dan kembali ke pembahasan Sukardal. Reza, peserta diskusi yang berasal dari Lembaga Pers Mahasiswa Islamika UMS mengutarakan pendapatnya. Reza mengaku berasal dari Bekasi. Di tempatnya, lalu lintas sudah rumit. Jika mau diurai permsalahannya pun lagi-lagi berbicara birokrasi. Ia juga mengatakan bahwa Sukardal bukan korban rezim. Baginya Sukardal adalah pihak yang gagal beradaptasi. 

Lara pun menimpali pernyataan Reza dengan mengatakan kalau Sukardal adalah simbol kerumitan-kerumitan pembangunan. Pada momen-momen tertentu, Sukardal-Sukardal baru akan muncul karena korban kebijakan yang kurang memihak. ”Saya seringkali bertemu dengan supir angkot dan mendengar keluhan dan permasalahannya. Karena saya bekerja di bidang advokasi transportasi,”
Lara pun menambahkan, pembangunan transportasi di kota Solo jangan sampai jatuh seperti di Kota Jakarta. Menurutnya pembangunan apapun sekarang tidak bisa berkiblat ke Jakarta. Pembangunan di Kota Solo harus dikawal. Kebijakan struktural berpengaruh besar akan nasib pengguna jalan. Kepedulian atas jalanan perlu ditegaskan kembali,”Realistis perlu tapi juga harus diimbangi dengan optimis” Selanya.

Di akhir diskusi, moderator menyampaikan, Sukardal tetaplah korban kebijakan struktural. Karena haknya dirampas bukan untuk mobilitas vertikal. Hak Sukardal dirampas saat ia hanya melakukan mobilitas horizontal. Birokrasi dan segala macam kebijakannya akan memakan korban apabila tidak memperhatikan aspek penting kebutuhan masyarakat. Kebutuhan pembangunan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Saat pembangunan transportasi hanya berbicara mengenai angka tanpa manusia, di situlah mungkin Sukardal-Sukardal baru akan muncul.



Penulis : Taufik Nandito
Editor : Afita Mulyafi
 


KEMBALI KE KHITTAH BHINNEKA TUNGGAL IKA

Gambar Klikberita.co.id


KEMBALI KE KHITTAH BHINNEKA TUNGGAL IKA
Oleh : Cokro Wibowo Sumarsono

Sesanti Bhinneka Tunggal Ika diambil dari karya sastra klasik Jawa Kuno Kakawin Sutasoma. Kakawin ini merupakan karya Mpu Tantular yang digubah pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada masa Majapahit di bawah kepemimpinan dwitunggal Hayam Wuruk-Gajah Mada. Ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan ragam puisi jenis metrum. Terdiri atas 148 pupuh (bab) dan 1209 bait. Kakawin ini digubah dengan mengemban misi persatuan nasional rakyat Nusantara di bawah kepemimpinan Majapahit, dimana pada saat itu mayoritas warga menganut ajaran Siwa dan Buddha.

Sutasoma merupakan karya monumental yang melampaui zamannya, berisi ajaran moral guna memperkaya khasanah ruang bathin bangsa kita. Guna membedah sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan hal ihwal kelahirannya, kita harus membaca tuntas jalinan aksara sebelum dan sesudah rangkaian  kata mutiara tersebut ditulis. Dalam pupuh 139 bab 4 baris terakhir dituliskan sebagai berikut :
"Hyang Buddha tan pahi lawan Siwa rajadewa"
(Tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa).

Dilanjutkan mutiara kata dalam pupuh 139 bait ke 5 sebagai berikut :
"Rwaneka datu winuwus wara Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa"
(Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, namun bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua)

Dilanjutkan dengan pupuh 139 bait ke 6 sebagai berikut :
"Aksobhya tatwa kitang Iswara dewa dibya, Hyang Ratnasambhawa sireki bhatara Datta, Sang Hyang Mahamara sirastam ikamithaba, Sryamoghasiddhi sira Wisnu mahadhikara"
(Hakikat Akshobya tidak berbeda dengan hakikat sebagai dewa agung Iswara. Ratnasambhawa tidaklah berbeda hakikatnya dengan Bhatara Datta. Mahamara tidaklah berbeda dengan Amitabha. Sri Amoghasiddhi dengan dewa Wisnu yang unggul).

Berdasarkan untaian kalimat di atas bisa dimaknai bahwa sesanti Bhinneka Tunggal Ika digali pada saat yang tepat, yaitu pada masa Majapahit sedang giat-giatnya menyatukan dan membangun peradaban Nusantara. Seperti yang kita ketahui bersama, Majapahit adalah sistem tata negara terbesar yang pernah ada di Nusantara. Meliputi wilayah Indonesia dan sekitarnya dengan berpusatkan di Jawa Timur.

Dipilihnya semboyan resmi negara dari sastra klasik era tersebut dimaksudkan guna menyerap energi peradaban besar Majapahit agar mempengaruhi romantika sejarah perjuangan anak bangsa. Bahwa kita harus bisa kembali menjadi bangsa yang besar seperti saat Majapahit mengendalikan samudera raya beserta gugusan kepulauan yang ada diantaranya. Bahwa kita harus bangkit kembali meskipun telah berkali-kali ditempa oleh beragam gemblengan hingga hampir hancur lebur.

Bahwa hukum dialektika perjuangan harus dipenuhi oleh segenap anak bangsa yang memang secara nash_nya telah _ginaris dilahirkan secara berdarah-darah di tengah hantaman palu godamnya perjuangan melawan anasir penjajahan. Bahwa sesanti itu telah terbukti mampu menyatukan fitrah perbedaan menjadi satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kekuatan yang bersumberkan pada pemahaman kesatuan hakikat ajaran pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan yang bermuarakan pada kesetiaan dan kerja keras kolektif untuk kejayaan sebuah bangsa dan negara.

Sesanti tersebut tidak terhenti di kata bhinneka saja tanpa adanya tunggal ika. Tidak berhenti pada sekedar menghargai adanya perbedaan saja, karena itu akan sama halnya dengan ideom pluralisme yang cenderung statis dan mengagungkan kebebasan. Bhinneka Tunggal Ika jauh lebih dinamis dari sekedar pluralisme. Karena dalam sesanti ini mengandung elan romantika kejayaan masa lalu. Selain itu juga mengandung spirit dasar persatuan guna mencapai cita-cita nasional bersama. Sesanti ini mengandung adanya keberagaman yang diikat oleh kerja perjuangan bersama. Oleh karena itu sesanti tersebut harus dituliskan secara lengkap sebagai Bhinneka Tunggal Ika, karena memang kita sudah selesai dalam frame pemahaman akan adanya perbedaan. Kita sudah tuntas dalam pengalaman hidup berdampingan yang telah teruji selama ribuan tahun. Yang kita perlukan adalah menjadikan potensi perbedaan tersebut dalam sebuah kesatuan gerak lahir bathin guna melangkah, bekerja dan berjuang bersama. 

Pemahaman sesanti yang sesuai dengan kitab Sutasoma mengandung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Istilah bhinneka mengandung spirit sila kedua dan keempat Pancasila. Peri kemanusiaan mencintai adanya sebuah perbedaan. Adanya perbedaan tersebut diselesaikan dengan konklusi musyawarah mufakat seperti amanat dari sila keempat Pancasila. Istilah tunggal ika mengandung spirit sila ketiga persatuan nasional. Sedangkan tujuan dari sesanti tersebut adalah seperti prinsip kelima kita yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semoga sesanti tersebut tidak lagi mengalami reduksi makna, apalagi reduksi kata-kata. Karena di tiap aksaranya terdapat spirit pusparagam dalam persatuan nasional. Jangan gunakan perbedaan sebagai pintu masuk memecah-belah persatuan. Sebaliknya jangan gunakan pula keberagaman sebagai acuan landasan kebebasan tanpa batas moral ala ideom impor kaum liberal. Mari bersama kita kembalikan spirit Bhinneka Tunggal Ika kepada khittahnya yang asli. Bersatu dan berjuang guna meraih kemenangan bersama !

Rabu Pon, 3 Januari 2018
Glugu Tinatar, Landungsari-Malang